Assalamu'alaikum akhwati fillah...
Alhamdulillah...
Rancangan awal blog baru stimus sudah jadi. Tinggal diedit dan ditambahi disana-sini. Tinggal isi posting dan lain-lainnya. TETAP SEMANGAT !!!
Ini dia blog baru stimus.....langsung aja ke TKP .
Wassalamu'alikum Warahmatullahi...
Rabu, 13 Maret 2013
Senin, 18 Februari 2013
Pengumuman STIMUS
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh...
Kepada ukhti fillah, kami mohon ma'af postingan terbaru di blog STIMUS tidak bisa kami update setiap saat. Dikarenakan kami Isya Allah dalam proses pembuatan blog stimus yang baru. Yang nantinya blog terbaru tersebut menjadi blog pengganti blog ini dan Insya Allah akan di pegang langsung oleh akhwat Stimus sendiri.
Kami atas nama admin blog stimus yang lama, memohon maaf bila ada kealfaan dalam tutur kata, kekeliruan dalam setiap postingan dan semoga kita semua selalu semangat untuk tholabul ilmi, dalam rangka mencari ridho ilahi.
Untuk alamat blog terbaru dari Stimus Insya Allah bila sudah siap akan kami informasikan dalam blog ini.
Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
TTd
Admin
Kepada ukhti fillah, kami mohon ma'af postingan terbaru di blog STIMUS tidak bisa kami update setiap saat. Dikarenakan kami Isya Allah dalam proses pembuatan blog stimus yang baru. Yang nantinya blog terbaru tersebut menjadi blog pengganti blog ini dan Insya Allah akan di pegang langsung oleh akhwat Stimus sendiri.
Kami atas nama admin blog stimus yang lama, memohon maaf bila ada kealfaan dalam tutur kata, kekeliruan dalam setiap postingan dan semoga kita semua selalu semangat untuk tholabul ilmi, dalam rangka mencari ridho ilahi.
Untuk alamat blog terbaru dari Stimus Insya Allah bila sudah siap akan kami informasikan dalam blog ini.
Wassalamu'alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.
TTd
Admin
Minggu, 09 Desember 2012
Info Dauroh Ramaja : Studi Dasar Islam Intensif
Kepada Ikhwan wal akhwatifillah para remaja/i Muslim di wilayah Sukoharjo dan sekitarnya.
Yu' ikutan acara kami kali ini,
Kegiatan
ini kami beri nama “STUDI DASAR ISLAM INTENSIF 2012” Dengan mengambil
tema
“MENITI AQIDAH PARA GENERASI TERBAIK UMAT ISLAM”
WAKTU DAN TEMPAT
PELAKSANAAN
Kegiatan ini Insya Allah akan
diselenggarakan pada:
Hari/Tanggal : Senin – Kamis, 17 – 20 Desember 2012
Waktu :
Pukul 08.00 – 11.45 WIB
Tempat :
Masjid Istiqomah (barat alun-alun SKH)
Insya Allah banyak ilmu yang akan kita dapat lho....
dan di akhir acara Insya Allah akan dibagikan door price, diantaranya, Buku, Majalah, dan Kaos Muslim / Muslimah.
Siip dah..........
Sudah Lama “Ngaji” Tetapi Akhlak Tidak Baik
“Akh,
ana lebih senang bergaul dengan ikhwan yang akhlaknya baik walaupun sedikit
ilmunya”. [SMS seorang ikhwan]
“Kok
dia suka bermuka dua dan dengki sama orang lain, padahal ilmunya masyaAlloh,
saya juga awal-awal “ngaji” banyak tanya-tanya agama sama dia”. [Pengakuan
seorang akhwat]
“Ana
suka bergaul dengan akh Fulan, memang dia belum lancar-lancar amat baca kitab
tapi akhlaknya sangat baik, murah senyum, sabar, mendahulukan orang lain, tidak
egois, suka menolong dan ana lihat dia sangat takut kepada Alloh, baru
melihatnya saja, ana langsung teringat akherat”. [Pengakuan seorang
ikhwan]
Mungkin
fenomena ini kadang terjadi atau bahkan sering kita jumpai di kalangan penuntut
yang sudah lama “ngaji”1 . Ada yang telah ngaji 3 tahun atau 5 tahun
bahkan belasan tahun tetapi akhlaknya tidak berubah menjadi lebih baik bahkan
semakin rusak. Sebagian dari kita sibuk menuntut ilmu tetapi tidak berusaha
menerapkan ilmunya terutama akhlaknya. Sebaliknya mungkin kita jarang melihat
orang seperti dikomentar ketiga yang merupakan cerminan keikhlasannya dalam
beragama meskipun nampaknya ia kurang berilmu dan. semoga tulisan ini menjadi
nasehat untuk kami pribadi dan yang lainnya.
Akhlak adalah salah satu tolak ukur iman dan tauhid
Hal
ini yang perlu kita camkan sebagai penuntut ilmu agama, karena akhlak adalah
cerminan langsung apa yang ada di hati, cerminan keikhlasan dan penerapan ilmu
yang diperoleh. Lihat bagimana A’isyah rodhiallohu ‘anha mengambarkan
langsung akhlak Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
merupakan teladan dalam iman dan tauhid, A’isyah rodhiallohu ‘anha
berkata,
كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ
“Akhlak
beliau adalah Al-Quran” [HR. Muslim no. 746, Abu Dawud no. 1342 dan Ahmad
6/54]
Yang
berkata demikian Adalah A’isyah rodhiallohu ‘anha, Istri yang paling
sering bergaul dengan beliau, dan perlu kita ketahui bahwa salah satu barometer
ahklak seseorang adalah bagaimana akhlaknya dengan istri dan keluarganya.
Rasulolluh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ
لِأَهْلِي
“Sebaik-baik
kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan akulah yang paling
baik di antara kalian dalam bermuamalah dengan keluargaku.” [H.R. Tirmidzi
dan beliau mengomentari bahwa hadits ini hasan gharib sahih. Ibnu
Hibban dan Al-Albani menilai hadits tersebut sahih].
Akhlak
dirumah dan keluarga menjadi barometer karena seseorang bergaul lebih banyak
dirumahnya, bisa jadi orang lain melihat bagus akhlaknya karena hanya bergaul
sebentar. Khusus bagi suami yang punya “kekuasaan” atas istri dalam rumah
tangga, terkadang ia bisa berbuat semena-mena dengan istri dan keluarganya
karena punya kemampuan untuk melampiaskan akhlak jeleknya dan hal ini jarang
diketahui oleh orang banyak. Sebaliknya jika di luar rumah mungkin ia tidak
punya tidak punya kemampuan melampiaskan akhlak jeleknya baik karena statusnya
yang rendah (misalnya ia hanya jadi karyawan rendahan) atau takut dikomentari
oleh orang lain.
Dan
tolak ukur yang lain adalah takwa sehingga Rosululloh shallallahu ‘alaihi
wa sallam menggabungkannya dengan akhlak, beliau bersabda,
اتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ
السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Bertakwalah
kepada Allah di mana saja engkau berada. Iringilah kejelekan dengan kebaikan
niscaya ia akan menghapuskan kejelekan tersebut dan berakhlaklah dengan manusia
dengan akhlak yang baik.” (HR. Tirmidzi no. 1987 dan Ahmad 5/153. Abu ‘Isa
At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rohimahullohu menjelaskan hadist ini,
“Barangsiapa
bertakwa kepada Alloh, merealisasikan ketakwaannya dan berakhlak kepada manusia
-sesuai dengan perbedaan tingkatan mereka- dengan akhlak yang baik, maka ia
medapatkan kebaikan seluruhnya, karena ia menunaikan hak hak Alloh dan
Hamba-Nya. [Bahjatu Qulubil Abror hal 62, cetakan pertama, Darul
Kutubil ‘ilmiyah]
Demikian
pula sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَكْثَرُ مَا يُدْخِلُ اَلْجَنَّةَ تَقْوى اَللَّهِ
وَحُسْنُ اَلْخُلُقِ
”Yang
paling banyak memasukkan ke surga adalah takwa kepada Allah dan akhlak yang mulia”
(HR At-Tirmidzi, Ibnu Maajah dan Al-Haakim dan dihasankan oleh Syaikh
Al-Albani)
Tingginya ilmu bukan
tolak ukur iman dan tauhid
Karena
ilmu terkadang tidak kita amalkan, yang benar ilmu hanyalah sebagai
wasilah/perantara untuk beramal dan bukan tujuan utama kita. Oleh karena itu
Alloh Azza wa Jalla berfirman,
جَزَاء بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Sebagai balasan bagi apa yang
telah mereka kerjakan.” [Al-Waqi’ah: 24]
Alloh
TIDAK berfirman,
جَزَاء بِمَا كَانُوا يعَلمُونَ
“Sebagai
balasan apa yang telah mereka ketahui.”
Dan
cukuplah peringatan langsung dalam Al-Qur’an bagi mereka yang berilmu tanpa
mengamalkan,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا
لَا تَفْعَلُونَْ كَبُرَ مَقْتاً عِندَ اللَّهِ أَن تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
”Hai orang-orang yang beriman,
mengapa kamu mengatakan hal yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian Allah
bahwa kamu mengatakan apa saja yang tidak kamu kerjakan.” (QS.Ash-Shaff :
3)
Dan bisa jadi Ilmunya tinggi
karena di karuniai kepintaran dan kedudukan oleh Alloh sehingga mudah memahami,
menghapal dan menyerap ilmu.
Ilmu
Agama hanya sebagai wawasan ?
Inilah
kesalahan yang perlu kita perbaiki bersama, sebagian kita giat menuntut ilmu
karena menjadikan sebagai wawasan saja, agar mendapat kedudukan sebagai seorang
yang tinggi ilmunya, dihormati banyak orang dan diakui keilmuannya. Kita perlu
menanamkan dengan kuat bahwa niat menambah ilmu agar menambah akhlak dan amal
kita.
Ibnul
Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Salah
satu tanda kebahagiaan dan kesuksesan adalah tatkala seorang hamba semakin
bertambah ilmunya maka semakin bertambah juga tawadhu’ dan kasih
sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut
dan waspadanya.” [Al-Fawa’id hal 171, Maktabah Ast-Tsaqofiy]
Sibuk belajar ilmu fiqh dan Ushul, melupakan ilmu akhlak dan
pensucian jiwa
Yang
perlu kita perbaiki bersama juga, sebagian kita sibuk mempelajari ilmu fiqh, ushul
tafsir, ushul fiqh, ilmu mustholah hadist dalam rangka
memperoleh kedudukan yang tinggi, mencapai gelar “ustadz”, menjadi rujukan
dalam berbagai pertanyaan. Akan tetapi terkadang kita lupa mempelajari ilmu
akhlak dan pensucian jiwa, berusaha memperbaiki jiwa dan hati kita, berusaha
mengetahui celah-celah setan merusak akhlak kita serta mengingat bahwa salah
satu tujuan Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus adalah
untuk menyempurnakan Akhlak manusia.
Rosululloh
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلاَقِ”
“Aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia.” [H.R. Al-Hakim dan dinilai sahih oleh
beliau, adz-Dzahabi dan al-Albani].
Ahlak yang mulia juga termasuk dalam masalah aqidah
Karena
itu kita jangan melupakan pelajaran akhlak mulia, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah memasukkan penerapan akhlak yang mulia dalam permasalahan
aqidah. Beliau berkata,
“Dan
mereka (al-firqoh an-najiah ahlus sunnah wal jama’ah) menyeru kepada
(penerapan) akhlak yang mulia dan amal-amal yang baik. Mereka meyakini
kandungan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Yang paling
sempuna imannya dari kaum mukminin adalah yang paling baik akhlaknya diantara
mereka“. Dan mereka mengajakmu untuk menyambung silaturahmi dengan orang
yang memutuskan silaturahmi denganmu, dan agar engkau memberi kepada orang yang
tidak memberi kepadamu, engkau memaafkan orang yang berbuat zhalim kepadamu,
dan ahlus sunnah wal jama’ah memerintahkan untuk berbakti kepada kedua orang
tua, menyambung silaturahmi, bertetangga dengan baik, berbuat baik kepada
anak-anak yatim, fakir miskin, dan para musafir, serta bersikap lembut kepada
para budak. Mereka (Ahlus sunnah wal jama’ah) melarang sikap sombong
dan keangkuhan, serta merlarang perbuatan dzolim dan permusuhan terhadap orang
lain baik dengan sebab ataupun tanpa sebab yang benar. Mereka memerintahkan untuk berakhlak yang
tinggi (mulia) dan melarang dari akhlaq yang rendah dan buruk”. [lihat Matan
'Aqiidah al-Waashithiyyah]
Bagi yang sudah “ngaji”
Syaitan lebih mengincar akhlak bukan aqidah
Bagi
yang sudah “ngaji”, yang notabenenya insyaAlloh sudah mempelajari ilmu
tauhid dan aqidah, mengetahui sunnah, mengetahui berbagai macam maksiat, tidak
mungkin syaitan mengoda dengan cara mengajaknya untuk berbuat syirik, melakukan
bid’ah, melakukan maksiat akan tetapi syaitan berusaha merusak Akhlaknya.
Syaitan berusaha menanamkan rasa dengki sesame saudara muslim, hasad, sombong,
angkuh dan berbagai akhlak jelak lainnya.
Syaitan
menempuh segala cara untuk menyesatkan manusia, tokoh utama syaitan yaitu Iblis
berikrar untuk hal tersebut setelah Alloh azza wa jalla menghukumnya dan
mengeluarkannya dari surga, maka iblis menjawab:
قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لأَقْعُدَنَّ لَهُمْ
صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَْ ثُمَّ لآتِيَنَّهُم مِّن بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ
خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَن شَمَآئِلِهِمْ وَلاَ تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ
شَاكِرِينَ
“Karena
Engkau telah menghukumku tersesat, aku benar-benar akan(menghalang-halangi
mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian aku akan datangi mereka dari muka
dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati
kebanyakan mereka bersyukur.” (Al-A’raf: 16-17)
Kita butuh teladan
akhlak dan takwa
Disaat
ini kita tidak hanya butuh terhadap teladan ilmu tetapi kita lebih butuh
teladan ahklak dan takwa, sehingga kita bisa melihat dengan nyata dan mencontoh
langsung akhlak dan takwa orang tersebut terutama para ustadz dan syaikh.
Yang
perlu kita camkan juga, jika menuntut ilmu dari seseorang yang pertama kali
kita ambil adalah akhlak dan adab orang tersebut baru kita mengambil ilmunya.
Ibu Imam Malik rahimahullahu, sangat paham hal ini dalam mendidik
anaknya, beliau memperhatikan keadaan putranya saat hendak pergi belajar. Imam
Malik rahimahullahu mengisahkan:
“Aku berkata kepada ibuku, ‘Aku akan pergi untuk belajar.’ ‘Kemarilah!’
kata ibuku, ‘Pakailah pakaian ilmu!’ Lalu ibuku memakaikan aku mismarah (suatu jenis pakaian) dan
meletakkan peci di kepalaku, kemudian memakaikan sorban di atas peci itu. Setelah
itu dia berpesan, ‘Sekarang, pergilah untuk belajar!’ Dia juga pernah
mengatakan, ‘Pergilah kepada Rabi’ah (guru Imam Malik, pen)! Pelajarilah
adabnya sebelum engkau pelajari ilmunya!’. (Waratsatul Anbiya’,
dikutip dari majalah Asy Syariah No. 45/IV/1429 H/2008, halaman 76 s.d. 78)
Kemudian pada komentar ketiga,
“Baru melihatnya saja, ana
langsung teringat akherat”
Hal inilah yang kita harapkan,
banyak teladan langsung seperti ini. Para ulama pun demikian sebagaimana Ibnul
Qoyyim rahimahullahu berkata,
“Kami (murid-murid Ibnu
Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan takut yang berlebihan, atau timbul dalam
diri kami prasangka-prasangka buruk, atau (ketika kami merasakan) kesempitan
hidup, kami mendatangi beliau, maka dengan hanya memandang beliau dan
mendengarkan ucapan beliau, maka hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan
berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang.” [Al
Waabilush Shayyib hal 48, cetakan ketiga, Darul Hadist, Maktabah Syamilah]
Sudah lama “ngaji” tetapi kok susah sekali memperbaiki
Akhlak?
Memang
memperbaiki Akhlak adalah hal yang tidak mudah dan butuh “mujahadah”
perjuangan yang kuat. Selevel para ulama saja membutuhkan waktu bertahun-tahun
untuk memperbaiki akhlak.
Berkata
Abdullah bin Mubarak rahimahullahu :
طلبت الأدب ثلاثين سنة وطلبت العلم عشرين سنة كانوا
يطلبون الأدب ثم العلم
“Saya
mempelajari adab selama 30 tahun dan saya mempelajari ilmu (agama) selama 20
tahun, dan ada-lah mereka (para ulama salaf) memulai pelajaran mereka dengan
mempelajari adab terlebih dahulu kemudian baru ilmu”. [Ghayatun-Nihayah fi
Thobaqotil Qurro I/446, cetakan pertama, Maktabah Ibnu Taimiyyah, Maktabah
Syamilah]
Dan
kita tetap terus menuntut ilmu untuk memperbaiki akhlak kita karena ilmu agama
yang shohih tidak akan masuk dan menetap dalam seseorang yang mempunyai jiwa
yang buruk.
Imam
Al Ghazali rahimahullahu berkata,
“Kami
dahulu menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan
kecuali hanya karena Allah ta’ala.” [Thabaqat Asy Syafi’iyah, dinukil
dari tulisan ustadz Kholid syamhudi, Lc, majalah Assunah].
Jadi
hanya ada kemungkinan ilmu agama tidak akan menetap pada kita ataupun ilmu
agama itu akan memperbaiki kita. Jika kita terus menerus menuntut ilmu agama
maka insyaAlloh ilmu tersebut akan memperbaiki akhlak kita dan pribadi kita.
Mari
kita perbaiki akhlak untuk dakwah ya ikhwan wal akhwatti fillah…
“orang
salafi itu ilmunya bagus, ilmiah dan masuk akal tapi keras dan mau menang
sendiri” [pengakuan seseorang kepada penyusun]
Karena
akhlak buruk, beberapa orang menilai dakwah ahlus sunnah adalah dakwah yang
keras, kaku, mau menang sendiri, sehingga beberapa orang lari dari dakwah dan
menjauh. Sehingga dakwah yang gagal karena rusaknya ahklak pelaku dakwah itu
sendiri. Padahal rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Mudahkan dan jangan
mempersulit, berikan kabar gembira dan jangan membuat manusia lari” [HR.
Bukhari, Kitabul ‘Ilmi no.69]
Karena Akhlak yang buruk pula
ahlus sunnah berpecah belah, saling tahzir, saling menjauhi, yang setelah
dilihat-lihat, sumber perpecahan adalah perasaan hasad dan dengki, baik antar
ustadz ataupun antar muridnya. Dan kita patut berkaca pada sejarah
bagaimana Islam dan dakwah bisa berkembang karena akhlak pendakwahnya yang
mulia.
Jangan lupa berdoa agar
akhlak kita menjadi baik
Dari
Ali bin Abi Thalib Rodhiallahu ‘anhu bahwa Rasululloh shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam salah satu do’anya beliau mengucapkan:
“Ya Alloh, tunjukkanlah aku pada akhlak
yang paling baik, karena tidak ada yang bisa menunjukkannya selain Engkau. Ya
Alloh, jauhkanlah aku dari akhlak yang tidak baik, karena tidak ada yang mampu
menjauhkannya dariku selain Engkau.” (HR. Muslim 771, Abu Dawud 760,
Tirmidzi 3419)
Dan doa dijauhkan dari akhlak yang
buruk,
“Ya Alloh, aku berlindung kepadamu dari
akhlak, amal dan hawa nafsu yang mungkar” (HR. Tirmidzi no. 3591,
dishohihkan oleh Al-Albani dalam Dzolalul Jannah: 13)
Wa
shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in.
Walamdulillahi robbil ‘alamin.
Artikel www.muslim.or.id
[1] ngaji: istilah yang ma’ruf, yaitu seseorang
mendapat hidayah untuk beragama sesuai dengan Al-Qur’an dan As-sunnah dengan
pemahaman salafus shalih, istilah ini juga identik dengan penuntut ilmu agamaKontribusi Terhadap Dakwah
Pada
dasarnya umat manusia menginginkan perubahan dalam hidupnya. Baik secara individual maupun kolektif. Dan
ajaran Islam memberikan konsep yang jelas untuk mencapainya. Yakni perubahan
menuju kehidupan yang lebih baik dari hari ini. Kondisi ke arah itu hanya dapat
dilakukan melalui penataan dakwah dengan sebaik-baiknya.
Upaya untuk mencapai perubahan
umat ini, dakwah tidak dapat mengandalkan kekuatan di luar kemampuan manusia. Sekalipun
orang beriman mengakui adanya kekuatan-kekuatan di luar kemampuan manusia yang
dapat mempengaruhi kekuatan dirinya.
Untuk meraih terwujudnya cita-cita
perjuangan dakwah, kontribusi aktivis dakwah menjadi kunci utamanya. Dengannya
kemudahan-kemudahan dakwah akan datang menyertai perjuangan mulia tersebut. Sehingga
kontribusi dalam dakwah merupakan suatu tuntutan atau keniscayaan.
Kontribusi Dakwah Merupakan
Keniscayaan Dalam Perjuangan
Kontribusi dalam dakwah adalah
memberikan sesuatu baik jiwa, harta, waktu, kehidupan dan segala sesuatu yang
dipunyai oleh seseorang untuk sebuah cita-cita. Ini menjadi bentuk
pengorbanan seorang kader terhadap dakwah. Perjuangan dan pengorbanan dua hal
yang tidak dapat dipisahkan.
Kontribusi dakwah, besar atau
kecil memiliki kedudukan yang sangat penting dalam menegakkan Islam. Melalui
pengorbanan, bangunan ini dapat berdiri tegak dari komponen satu sama lain baik
besar ataupun kecil. Demikian pula kedudukan status sosial seseorang yang
dipandang rendah tatkala memberikan pengorbanannya maka ia sama kedudukannya
dengan yang lain bahkan mungkin lebih tinggi lagi.
Untuk
Meraih Pertolongan Allah Subhanahu
Wa Ta’ala.
Meskipun
orang yang beriman meyakini bahwa pertolongan Allah pasti akan datang, tetapi
pertolongan-Nya tidak boleh diartikan sebagai sebuah ‘keajaiban dari langit’ yang datang dengan tiba-tiba dan begitu
saja. Sekalipun hal itu bisa saja terjadi menurut kehendak Allah Subahanahu Wa
Ta’ala.
Namun
pertolongan Allah itu harus diartikan sebagai respon-Nya terhadap upaya-upaya
yang dilakukan oleh para hamba-Nya dalam memberikan perhatian dan
pengorbanannya kepada dakwah. Firman Allah Subahanahu Wa Ta’ala., “Jika kamu menolong (agama) Allah
niscaya Allah akan menolong kamu dan meneguhkan langkah-langkah kamu.”
(Muhammad: 7)
Oleh
karena itu, untuk meraih pertolongan Allah, perlu mencari penyebab datangnya.
Salah satu yang melatarbelakanginya adalah dengan memberikan kontribusi
terhadap dakwah ini. Apalagi di saat dakwah ini menghadapi rintangan dari
musuh-musuhnya. Situasi
seperti inilah kontribusi aktivis dakwah dapat menjadi pintu untuk
pertolongan-Nya. Terlebih-lebih dalam situasi yang pelik dan terjepit. “Apakah
kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu
(cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa
oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam
cobaan) sehingga berkatalah rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya:
“Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah
itu amat dekat”. (Al-Baqarah: 214)
Karakter Aktivis Dakwah
Dalam kaedah syair Bahasa Arab
dikatakan bahwa, ‘Fain faqadu syaian lam yu’thi.‘ Siapa yang tidak
punya, maka ia tidak akan dapat memberikan sesuatu. Maka mungkinkah seseorang
akan memberikan kontribusinya sementara dirinya tidak memiliki apa-apa. Mereka
yang tidak bisa memberikan pengorbananan apa-apa sepantasnya merasa malu. Karena
telah banyak kebaikan Allah Subahanahu Wa Ta’ala pada kita. Oleh sebab itu
seorang aktivis dakwah perlu mengetahui apa
yang ia punyai.
Kaum yang beriman, khususnya
aktivis dakwah, tidak boleh bakhil. Kontribusi apapun, yang telah ia tunaikan
akan sangat bermanfaat bagi dakwah ini. Kemanfaatan pengorbanan itu hanya ada
pada saat kehidupan di dunia ini baik bagi orang lain terlebih lagi bagi
dirinya sendiri. Setelah mati, tidak ada sesuatu pun yang bisa diberikan oleh
manusia untuk menambah timbangan kebaikannya di alam barzah kelak.
Karenanya, karakter aktivis dakwah yang sesungguhnya adalah berwatak
merasa ringan untuk berkorban terhadap dakwah. Tidak ada sesuatupun yang
merintanginya untuk berkorban. Ia cepat merespon tuntutan kebutuhan dakwah ini.
“Hai orang-orang yang beriman,
jadilah kamu penolong-penolong (agama) Allah sebagaimana Isa putra Maryam telah
berkata kepada pengikut-pengikutnya yang setia: “Siapakah yang akan menjadi
penolong-penolongku (untuk menegakkan agama) Allah?” Pengikut-pengikut yang
setia itu berkata: “Kamilah penolong-penolong agama Allah”, lalu segolongan
dari Bani Israil beriman dan segolongan (yang lain) kafir; maka kami berikan
kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, lalu
mereka menjadi orang-orang yang menang”. (Ash-Shaff: 14)
Kelangsungan
Dakwah
Memang
kelangsungan dakwah ini telah mendapatkan jaminan dari Allah Subahanahu Wa
Ta’ala. (At-Taubah: 40).
Akan tetapi ia juga berhubungan dengan kontribusi dakwah. Ia ibarat tetesan
darah yang memperpanjang usia perjalanan dakwah ini. Oleh karenanya pengorbanan
aktivis terhadap dakwah menjadi sangat vital.
Dakwah bisa terus berjalan atau
mandeg lantaran pengorbanan aktivisnya. Mereka yang terdepan dalam memberikan
kontribusinya, merekalah yang menjadi pelangsung dakwah. Sebaliknya mereka yang
tidak berada pada barisan ini, menjadi penyebab mandul atau matinya dakwah. Karena
mereka tidak memberikan pengorbanan, Allah Subahanahu Wa Ta’ala akan
menggatikannya dengan aktivis yang lainnya. Hal itu terjadi untuk
mensinambungkan gerak perjalanan dakwah.
“Ingatlah, kamu ini orang-orang
yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu
ada orang yang kikir, dan siapa yang kikir sesungguhnya dia hanyalah kikir
terhadap dirinya sendiri. Dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah
orang-orang yang membutuhkan (Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan
mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu
(ini)”. (Muhammad: 38)
Adapun kontribusi yang dapat
diberikan seorang aktivis sangat banyak, karena seluruh potensi yang dimiliki
dapat disumbangkan untuk dakwah. Untuk memudahkan kita memahami kontribusi
dalam dakwah ini, al-atha’ ad-da’awy diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Al-Atha’ Al Fikry (Kontribusi
Pemikiran)
Jiwa
dari perjuangan da’wah adalah kontribusi pemikiran karena nilai-nilai Islam
hidup bersama hidupnya pemikiran Islam di tengah-tengah umat. Umat ini tidak
boleh sepi untuk mendayagunakan pemikirannya. Agar menghasilkan solusi yang
telah diberikan Islam.
Ajaran
Islam mampu memberikan solusi atas berbagai persoalan yang dihadapi umat
manusia dari berbagai zaman dan peradaban. Dan solusi yang diberikan mencakup
berbagai aktifitas kehidupan manusia.
Kontribusi
kaum muslimin dalam bidang pemikiran akan melahirkan sebuah tsaqafah
(intelektualitas) dan hadlarah (peradaban) Islam, sebagaimana yang
pernah ditunjukkan dalam sejarah peradaban manusia sejak masa Rasulullah Shalallahu
Alaihi Wa Salam. sampai dengan pemerintahan Islam sesudahnya. Karena dari sikap inilah muncul
kreativitas dan inovasi baru dalam kehidupan ini. Dengan terbiasanya berpikir
untuk dakwah maka mereka akan terbiasa melahirkan sesuatu yang belum dipikirkan
orang lain. Sehingga manajemen modern sedang menggalakan umat manusia untuk
senantiasa berbuat sebelum orang lain sempat berpikir. Hal itu terjadi apabila
kita terbiasa berpikir cepat dari yang lainnya. Karenanya seorang aktivis dakwah tidak boleh miskin ide dan gagasan
apalagi kikir untuk dikontribusikan terhadap dakwah.
2.
Al-Atha’ Fanny (Kontribusi Keterampilan)
Keterampilan
merupakan anugerah mahal yang diberikan Allah Subahanahu Wa Ta’ala. kepada
manusia. Skill ini akan
menjadi kekayaan yang tak ternilai. Keterampilan ini dapat pula menjadi
eksistensi manusia itu sendiri. Bahkan Allah sangat menghargai keterampilan
yang dapat menghantarkannya ke jalan-Nya yang paling baik. Yakni skill yang
dapat berguna untuk kepentingan dakwah. Untuk kepentingan inilah skill tersebut
mendapatkan penghargaan di sisi Allah Subahanahu Wa Ta’ala.
“Katakanlah: ‘Tiap-tiap orang
berbuat menurut keadaannya masing-masing.’ Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa
yang lebih benar jalannya.” (Al-Isra’: 84)
Sesungguhnya semua skill yang
dimiliki seseorang dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap dakwah. Kemenangan
dakwah dalam sepanjang sejarah juga diwarnai oleh keterampilan dari para
pahlawan Islam. Ada yang mahir menunggang kuda dari balik perut kuda hingga
bisa membuka benteng musuh. Ada yang terampil menggunakan pedangnya hingga
tampak bagai tarian dan masih banyak lagi yang lainnya. Karena itu para
pengemban risalah dakwah ini mendorong umatnya untuk turut serta dalam
mendayagunakan keterampilannya bagi kemenangan dakwah.
“Katakanlah: ‘Hai kaumku,
bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, sesungguhnya aku akan bekerja (pula), maka
kelak kamu akan mengetahui.’” (Az-Zumar: 39)
3.
Al-Atha’ Al-Maaly (Kontribusi Materi)
Kontribusi materi merupakan
kekuatan fisik dari dakwah karena ia akan menggerakkan jalannya perjuangan ini.
Berbagai sarana perjuangan diperlukan dan harus diperoleh melalui penyediaan material dan finansial. Oleh karena itu
berbagai persiapan dalam hal ini diperintahkan Allah Subahanahu Wa Ta’ala.
sebagaimana firman-Nya: “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan
apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang
(yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan
orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedang Allah
mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan
dibalas dengan cukuop kepadamu dan kamu tidak akan dianaiaya (dirugikan).”
(Al-Anfal: 60)
Para sahabat telah menunjukkan betapa perjuangan dakwah
harus diikuti oleh perjuangan mengorbankan harta, bahkan kadangkala dalam
jumlah yang tiada taranya. Abu Bakar Shiddiq adalah sahabat yang rela
mengorbankan seluruh harta miliknya di jalan Allah, sedangkan Utsman bin Affan
yang kaya raya itu juga sangat luar biasa tanggung jawabnya dalam persoalan
kontribusi material ini. Ketika pada masa Khalifah Umar bin Khattab terjadi
musim paceklik Utsman menyumbangkan gandum yang dibawa oleh seribu ekor unta.
Perjuangan
yang dihidupkan tidak hanya dengan semangat dan pemikiran, tetapi juga dengan
dukungan materi yang kuat, akan mampu mengimbangi dengan musuh-musuh yang
seringkali memiliki sarana yang lengkap dan hebat. Perhatian dalam hal ini
adalah sebuah kewajiban yang asasi karena ini merupakan tuntutan sunatullah.
4.
Al-Atha’ An-Nafsy (Kontribusi Jiwa)
Kontribusi
jiwa (nafs) dapat berbentuk pengorbanan untuk menundukkan
dorongan-dorongan nafs-nya yang memerintahkan kepada fujur
dan menyerahkannya kepada ketakwaan. Sesungguhnya ini adalah kontribusi yang
mendasari seluruh kontribusi lainnya. Seorang harus mengatasi
keinginan-keinginan untuk membesarkan dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum
mau berkorban bagi pihak lain. Ia harus membebaskan dirinya dari sifat bakhil
yang mengungkung jiwanya baik dalam aspek material maupun non-material.
Kontribusi
terbesar diberikan seseorang kepada dakwah apabila ia rela tidak saja
menundukkan jiwa kebakhilannya, tetapi bahkan melepas jiwanya itu sendiri dari
badannya demi perjuangan dakwah. Inilah cita-cita terbesar dari seorang pejuang
dakwah yang diikrarkannya tatkala ia mulai melangkahkan kakinya di jalan
dakwah: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan
harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah lalu mereka
membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di
dalam Taurat, Injil, dan AlQur-an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya
(selain) dari pada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu
lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 111).
Termasuk
dalam kontribusi jiwa ini adalah kontribusi
waktu (al waqt) dan kesempatan (al furshokh) yang
dimiliki seseorang dalam perjalanan kehidupannya. Waktunya tidak akan dibelanjakan kepada
hal-hal yang tidak memiliki aspek kedakwahan. Ia juga tidak akan menciptakan
atau mengambil kesempatan-kesempatan dalam kehidupannya kecuali yang bernilai
akhirat.
Kiat untuk dapat memberikan
kontribusi dakwah
Untuk
dapat mendorong dirinya memberikan kontribusinya dalam dakwah, aktivis dakwah
perlu mengupayakan kiat-kiat jitu dalam berkorban. Pertama, biasakan diri untuk memberikan kontribusi
setiap hari meskipun dalam jumlah yang kecil. Sedapatnya bisa berkorban baik
harta, waktu, dan tenaga setiap hari, pekan ataupun waktu-waktu lainnya. Kalau
perlu dengan ukuran yang jelas, misalnya satu hari memberikan kontribusinya
untuk dakwah Rp 1.000 atau dua jam dari waktunya atau satu gagasannya. Sehingga
apa yang ia berikan dapat terukur. Untuk dapat membiasakannya bila perlu
memberikan sanksi jika meninggalkan kebiasaan tersebut. Seperti Umar
menyumbangkan kebunnya karena tidak shalat berjamaah. Ibnu Umar memperpanjang
shalatnya bila tidak berjamaah. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Salam.
mengerjakan shalat dhuha 12 rakaat bila meninggalkan qiyamullail.
Kedua, meningkatkan kemampuan visualisasi terhadap
balasan dan ganjaran dunia dan akhirat. Apalagi balasan yang dijanjikan-Nya
sangat besar, Allah Subahanahu Wa Ta’ala. akan memberikan kedudukan yang kokoh
di dunia atas segala kontribusi yang diberikan (An-Nuur: 55). Allah Subahanahu
Wa Ta’ala. juga memandang mulia orang yang berkorban, bahkan derajatnya
ditinggikan dari orang yang lainnya (An-Nisaa’: 95). Keyakinan akan balasan dan
ganjaran yang diberikan akan memudahkan orang akan menyumbangkan apa saja yang
dimilikinya.
Ketiga,
selalu bercermin pada orang lain dalam berkorban. Orang beriman akan menjadi
cermin bagi yang lainnya. Dengan senantiasa melihat apa yang dilakukan yang
lain. Paling tidak dapat memberikan dorongan untuk melakukan seperti yang
dilakukan orang lain. Tidak jarang para sahabat berlomba-lomba untuk melakukan
kebaikan lantaran bercermin dari sahabat lainnya.
Keempat, selalu meyakini bahwa setiap pengorbanan yang diberikan akan
memberikan manfaat yang sangat besar baik bagi dirinya ataupun yang lain. Keyakinan
yang demikian akan mendorong untuk selalu berbuat. Sebab, betapa banyaknya
orang yang dapat menikmati atau mengambil faedah dari apa yang kita lakukan. Sebagaimana
ditemukan sebuah penelitian, para pekerja pembuat obat di pabrik tidak jadi
melakukan mogok kerja karena mereka melihat langsung bahwa banyak pasien di
rumah sakit yang sangat membutuhkan obat yang mereka buat.
Kelima,
senantiasa berdoa pada Allah Subahanahu Wa Ta’ala. agar dimudahkan untuk selalu
berkorban. Karena Allah Subahanahu Wa Ta’ala. pemilik hati orang beriman
sehingga dengan berdoa diharapkan hati kita senantiasa berada di barisan
terdepan untuk memberikan kontribusi bagi kemenangan dakwah. Dengan berdoa
dapat bertahan untuk memperjuangkan dakwah hingga akhir hayat kita.
“Ceriterakanlah kepada mereka
kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya
mempersembahkan kurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua
(Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku
pasti membunuhmu!” Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban)
dari orang-orang yang bertakwa”. (Al-Maidah: 27)
Oleh: Tim kajian dakwah alhikmah
Langganan:
Postingan (Atom)